Sabtu, 14 November 2009

Kabar Usai Dari Thailand


Pada sabtu sore 10 Oktober 2009, saya mendapat undangan via email dari Dikti untuk mengikuti kunjungan ke Bangkok Thailand. Saya sempat merasa kaget juga mengingat keberangkatan ke Bangkok dijadwalkan pada tgl 14 Oktober, sedangkan tanggal 12-13 Oktober harus mengikuti pembekalan dan pemantapan bahan-bahan pertemuan yang akan dibawa ke Bangkok. Pembekalan yang berlangsung di Hotel Ambhara Jakarta itu diberikan oleh Dirjen Dikti Dr. Fasli Djalal, Direktur Akademik serta pembicara lain dari Depdiknas.

Kunjungan ke Bangkok ini dalam rangka untuk mengikuti 2nd meeting on Mobility Programme in Indonesia-Malaysia-Thailand: A Pilot Programme. Pertemuan ini dibawah koordinasi salah satu SEAMEO (Southeast Asian Ministers of Education) Centres ASEAN yaitu SEAMEO RIHED (SEAMEO Regional Centre for Higher Education and Development). SEAMEO RIHED yang ada di Thailand ini berperan dalam membangun jejaring dan capacity building perguruan tinggi di ASEAN.

Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk membicarakan mengenai pertukaran mahasiswa antar ketiga negara peserta pertemuan itu yang berfokus pada pembicaraan mekanisme sistem transfer kredit. Sistem ini memungkinkan antar perguruan tinggi untuk mengakui sks (sistem kredit semester) yang berlaku di perguruan tinggi mitra lainnya.

Setelah mengikuti pembekalan 2 hari di Jakarta, kami berangkat ke Bangkok pada tanggal 14 Oktober pukul 16.30 Wib dengan menumpang Air Asia. Bersama saya ada 18 perguruan tinggi, yakni 12 PTN dan 6 PTS se Indonesia. Dari PTS, selain Universitas Islam Darul Ulum (Unisda) Lamongan adalah Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Univ. Kristen Satya Wacana Salatiga, Univ. Kristen Maranatha bandung, Univ. Bina Nusantara Jakarta, serta Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Jakarta. Sedangkan dari PTN antara lain Univ. Gadjah mada, Univ. Sebelas Maret, ITB Bandung, UI Jakarta, IPB Bogor, Unsri Palembang, Unand Padang, Unhas Makassar, dan Univ Negeri Jember. Selain dari itu, terdapat dalam rombongan adalah Direktur Akademik Dikti beserta staf Ditjen Dikti.

Bila dilihat dari representasi PTS maka hanya ada 2 PTS Islam (1 PTNU dan 1 PT Muhammadiyah), 2 PTS Kristen, dan 2 PT Nasionalis. Ini tentu merupakan kebanggaan buat institusi maupun Asosiasi Perguruan Tinggi NU (Aptinu) umumnya.

Perlu saya sampaikan bahwa program ini merupakan kelanjutan dari keberhasilan Fakultas Pertanian Unisda yang memenangkan hibah kompetisi Revitalisasi Pendidikan Pertanian 2009 yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Pada program tersebut Unisda menjadi salah satu dari 29 PTN/PTS pemenang yang akan menjalankan program untuk kemajuan daya saing pendidikan pertanian.

Kami tiba di bandara Suvarnabhumi Bangkok pada pukul 20.30, dimana tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok. Sesampai di bandara, kami segera dijemput oleh Atache Pendidikan (Atdik) pada KBRI Bangkok Prof. Dr. Didik Sulistyanto beserta staf menuju hotel tempat kami menginap di Siam City Hotel Bangkok. Kesan saya di bandara ini adalah, tentu megah, besar dan mewah dengan arsitektur modern yang ramah lingkungan. Di samping itu, di Bandara Suvarnabhumi ini kami disambut dengan tersedianya brosur-brosur wisata dan peta bangkok yang dapat diperoleh secara gratis. Yang menarik, dalam peta dan brosur itu diberikan keterangan boleh dicopy (Free of Copy). Artinya, negara ini memang sangat wellcome dengan tamu dan wisatawan luar negeri.

Esoknya, pada pukul 09.00 kami melakukan kunjungan ke Asian Institute of Technology (AIT) di Bangkok. Perguruan Tinggi ini terletak di Pathumthani, 42 km arah utara dari pusat kota Bangkok merupakan salah satu yang terbaik di Asia untuk studi tentang Pertanian. Kampus yang bersebelahan dengan Thammasat University ini menampung banyak mahasiswa dari luar negeri, termasuk Indonesia. Selain program diploma AIT juga membuka program master dan doktor. Setelah disambut oleh Direktur Pasca sarjana kami dipersilahkan untuk meninjau sarana laboratorium yang dimiliki oleh AIT. Dengan areal yang cukup luas 330 hektar, menjadikan kampus ini mempunyai sarana yang memuaskan baik untuk layanan sarana akademik maupun rekreasional.

Melihat AIT, ada yang menarik dari budaya mahasiswa yang masuk kampus. Mereka dilarang memakai kendaraan bermotor. Sehingga para mahasiswa harus menaiki sepeda pancal yang dilengkapi keranjang untuk menuju fakultasnya masing-masing. Mobil atau sepeda motor mereka wajib diparkir di tempat parkir dia areal yang agak jauh dari lokal-lokal pembelajaran. Sehingga, kampus kelihatan bersih, asri dan tanpa polusi. Ini tentu hal yang tidak mungkin untuk ditemui di kampus-kampus besar di Indonesia.

Setelah dari AIT kami bertolak menuju KBRI untuk makan siang. Sesudahnya acara dilanjutkan dengan pertemuan pendahuluan SEAMEO RIHED. Esok harinya, Jum’at 16 Oktober kami mengikuti 2nd meeting on Mobility Programme in Indonesia-Malaysia-Thailand: A Pilot Programme. Dalam sesi ini ada lima kelompok yang dalam setiap kelompok terdiri dari wakil PT dari tiga negara. Kelompok-kelompok tersebut antara lain: Budaya dan Bahasa, Bisnis Internasional, Perhotelan dan Pariwisata, Ilmu dan Teknologi Pangan serta Pertanian. Dari Thailand hadir Katerstsat University, Thammasat University, Mahidol University, Prince of Songkla University, dan Mae Fah Luang University. Sedangkan dari Malaysia hadir Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Teknologi MARA, Universiti Putra Malaysia, dan Universiti Sains Malaysia. Dalam pertemuan ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Supachai Yavaprabhas, Direktur Seameo Rihed dan Prof. Dr. Voravan Limtong, Excecutive Director UMAP Thailand.

Setelah sesi matching up course syillabi (pemaduan silabi mata kuliah), masing-masing PT mitra juga menyepakati untuk menerima 1-4 mahasiswa pertahun dengan ketentuan pembiayaan Tuition fee ditanggung oleh masing-masing perguruan tinggi penerima, sedangkan biaya perjalanan p.p dan biaya hidup ditanggung oleh pemerintah masing-masing negara pengirim. Walaupun untuk jumlah beasiswa masih sangat terbatas, namun khusus untuk KBRI Bangkok siap untuk menyediakan lebih banyak lagi beasiswa untuk mahasiswa Indonesia yang hendak studi di Bangkok dengan skem (syarat) khusus.

Pertemuan tersebut diakhiri pada pukul 17.00 dengan menghasilkan keputusan terkait dengan pengakuan sks antar PT yang bermitra. Penutupan dilakukan oleh Dr. Summate Yamnoon, Ketua Komisi Dikti Thailand. Di samping itu direncanakan akan ada pertemuan lanjutan di Jakarta pada Desember serta penandatanganan MoU di Cebu Filipina yang direncanakan pada akhir Januari 2010.

Sabtu 17 Oktober merupakan hari terakhir di Bangkok. Untuk mengakhirinya, kami diterima oleh Duta Besar RI di Bangkok Muhammad Hatta beserta seluruh pejabat KBRI. Sebelum menuju Bandara untuk bertolak ke Jakarta kami menyempatkan untuk singgah di salah satu perbelanjaan MGK Mall di Bangkok. Alhamdulillah, penerbangan kembali ke Jakarta dengan Air Asia berjalan lancar. Tentu dengan perasaan penuh tanggung jawab dalam rangka menyukseskan program yang telah disepakati.

Menurut Dirjen Dikti, bila program ini sukses akan membawa kepada kesuksesan lain. Mengingat banyak program kerjasama internasional lain yang bisa diretas misalnya Erasmus Mundus atau dengan universitas-universitas Eropa yang mewajibkan sekitar 2 juta lebih mahasiswanya untuk 2 semester mengambil kuliah di universitas di luar negaranya.

Hal menarik lainnya selama di Bangkok adalah polusi yang minim, ketertiban pengguna jalan, sampai klakson mobil pun nyaris tak pernah terdengar, pasar-pasar agribisnis yang bersih dan tertata, serta tidak adanya pengemis maupun pengamen. Ini tentu kondisi yang amat berbeda bila dibanding Surabaya dan Jakarta sebagai kota yang sama-sama sibuk.

Minggu, 24 Mei 2009

Urgensi Trust dalam Organisasi

Oleh: M. Afif Hasbullah

Organisasi adalah tempat berkumpulnya banyak orang untuk melakukan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan bersama. Mengingat organisasi terdiri dari banyak orang, maka tentu kelembagaannya haruslah tunduk pada aturan atau pengaturan yang ditaati dalam organisasi tersebut. Tanpa pengaturan, bukanlah organisasi. Karena yang tanpa pengaturan adalah modal untuk keterpecahan atau kesemrawutan (chaos). Peraturan itu dapat melalui sistem permusyawaratan demokratis ataupun melalui keterpimpinan oleh figur yang dihormati dan ditaati.
Mengingat pentingnya pengaturan dalam organisasi, maka suatu organisasi harus berusaha mengatur dirinya sendiri dengan baik. Masukan anggota dimusyawarahkan bersama. Ide pengurus disampaikan dengan baik kepada anggota, agar mereka memahami, mengerti dan mau serta mampu melaksanakan peraturan dari organisasi. Organisasi juga tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan merosot, manakala timnya tidak solid, yakni mereka tidak tunduk pada garis pengaturan atau kebijakan organisasi.
Organisasi tentu bukanlah pribadi diri sendiri, tapi menyangkut banyak orang. Oleh karenanya organisasi tidak dapat dibawa dikelola seenaknya sendiri. Setiap pimpinan organisasi mutlak untuk mengajak bicara, sharing ide, mendengarkan masukan dari anggota yang dipimpinnya. Ia tidak berjalan sendiri.
Keberhasilan suatu organisasi mutlak terletak pada kekompakan tim. Tanpa tim yang solid, organisasi tidak dapat maksimal berprestasi, bahkan yang ada adalah kemunduran atau minimal stagnasi.
Hubungan komunikasi yang buruk antar pimpinan organisasi juga berdampak buruk pada hasil-hasil kerja organisasi. Mereka sibuk bertengkar atau menyerang, padahal sesungguhnya diantara pimpinan itu sama-sama baik pendapatnya. Hanya karena tidak ada yang mau mengalah maka organisasi dihadapan pada masalah kekalahan dan keterpurukan.
Komunikasi yang cair tidak dapat mewujud dalam kenyataan jika dalam mentalitet para anggota (di antara pimpinan dan anggota). Wujudnya adalah saling curiga, iri hati, dengki, hasud, sombong-sombongan, pamer, dan sebagainya. Isunya adalah selalu curiga pada rekan kerja dalam organisasi, baik mereka strukturnya lebih tinggi atau sesama anggota.
Istilah umum saat ini, antara satu ama lain suka “SMS”, “senang melihat orang susah atau susah melihat orang lain senang”, pikirannya kotor selalu. Karena ia tidak terima terhadap anggota timnya yang berprestasi dan juara. Sebaliknya ia senang sekali bila temannya celaka (susah)
Trust yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai percaya atau kepercayaan adalah inti dari kemajuan organisasi, berikut keberhasilan tujuan-tujuannya. Tanpa trust maka yang terjadi adalah kehancuran organisasi. Konsep trust sendiri dalam agama Islam dikatakan sebagai amanah. Amanah sebagai sikap mental diharuskan oleh agama untuk disandang dalam kegiatan keorganisasian maupun kepemimpinan. Hampir pasti terjadi pula, manakala mental amanah tidak ada, bahkan sikap munafik yang muncul maka oerganisasi akan kacau. Karena didalam organisasi tidak solid, bila ada kebersamaan pasti itu hanya kebersamaan yang kamuflase, karena semua terbungkus oleh sikap munafik.
Konsepsi Islam menyatakan bahwa kullu mauludin yuuladu alal fithroh, yang bermaksud setiap manusia pada asalnya adalah suci atau bersih. Dengan demikian sikap saling percaya harus menjadi bagian dari konsep kesatuan keummatan. Namun demikian, trust juga harus dijaga. Seandainya seseorang atau kelompok orang telah terbiasa tidak amanah atau munafik maka yang terjadi adalah saling tidak percaya dikemudian hari.
Maka sikap untuk mau percaya pada orang lain, mau percaya pada orang yang mempercayainya, mau percaya pada aturan yang telah disepakati atau sikap menjaga kepercayaan adalah hal mutlak yang harus dijaga oleh semua pihak dalam organisasi.

Jumat, 22 Mei 2009

Masa Depan itu adalah Kaderisasi

Oleh: M. Afif Hasbullah[1]


“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh” (Q.S. Asshaff:4)
Suatu organisasi apapun pastilah membutuhkan kaderisasi, karena dengan kaderisasi suatu organisasi akan mampu untuk senantiasa establish dalam perkembangan jaman. Kaderisasi yang dimaksud di sini adalah upaya mempersiapkan kader menjadi generasi penerus visi, misi dan ideologi dari sebuah gerakan dalam organisasi. Sehingga diharapkan tujuan utama suatu pergerakan akan dapat survive bahkan memimpin suatu perkembangan jaman.
Kader sebagai pihak utama yang akan memperoleh kegiatan kaderisasi adalah mereka para anggota, keluarga, sahabat, maupun pihak-pihak yang secara ideologis sesuai dengan misi yang diusung oleh organisasi. Dalam kaitan ini, kader dapat merupakan pengembangan dari hubungan orang tua-anak, atasan-bawahan, guru-murid, atau pihak-pihak yang secara rasional responsif dengan gerakan organisasi.
Buah tak jauh dari pohonnya, demikian ungkapan kata pepatah. Sesungguhnya dengan kaderisasi diharapkan nilai awal organisasi, berikut kualitas para pendahulu diharapkan senantiasa dapat dilanjutkan, ditiru, dan dikembangkan oleh generasi berikutnya. Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai suatu organisasi (jam’iyah) yang berpengikut (jama’ah) besar mutlak membutuhkan sistem pengkaderan yang terstruktur dengan baik. Potensi NU sebagai organisasi kader cukup besar mengingat jumlah badan otonom (banom) nya yang sedemikian banyak, belum lagi lembaga serta lajnah yang ada di dalamnya. Demikian pula, secara keanggotaan NU dipastikan sebagai ormas terbesar di tanah air di luar partai politik, bahkan mungkin ormas Islam terbesar di seluruh dunia.
Setiap masa ada pemimpinnya, demikian suatu kata bijak. NU dari semenjak awal berdiri telah memainkan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai konsekwensi peran itu, maka NU telah melahirkan banyak pemimpin yang telah mencatatkan dalam sejarah tentang apa yang telah dilakukan terhadap Ummat maupun bangsa dan Negara. Di awal pendirian ada K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri dan lain-lain, di era selanjutnya ada K.H. Machrus Ali, K.H. As’ad Syamsul Arifin, K.H. Achmad Shiddiq, K.H. Tholhah Mansoer dan lain-lain. Juga, terdapat tokoh-tokoh besar pada bidang birokrasi seperti K.H. Wachid Hasyim, K.H. Saifuddin Zuhrie, K.H. Muhammad Dahlan, K.H. Idham Cholid, K.H. Masjkoer, Subhan ZE dan sebagainya. Puncaknya NU pernah mengantarkan kader terbaiknya menjadi presiden di republik ini. Demikian juga pemimpin-pemimpin dari kalangan NU di daerah dan suatu masyarakat lokal juga tak kalah pentingnya kehadiran mereka.
Kader untuk organisasi sebesar NU tentu tidak hanya terbatas pada jabatan birokratis, karena sektor lain dalam kehidupan keummatan masih banyak yang perlu untuk dimasuki. Sektor ekonomi, wirausahawan, bisnisman maupun pedagang. Sektor pendidikan, guru, dosen dan pengelola pendidikan. Sektor kesehatan, perawat, bidan, dokter dan pengelola kesehatan. Sektor Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS), peneliti, ilmuwan, teknokrat, budayawan, seniman dan sebagainya. Tentu sektor-sektor tersebut sekedar contoh, karena masih banyak bidang lain yang harus digarap seperti pendampingan masyarakat oleh kader yang hidup langsung bersentuhan dengan masyarakat bawah.
Dakwah Multimedia
Bidang garapan NU senantiasa dinamis mengikuti jaman. NU terlalu besar jika hanya mengurusi kegiatan klasik seperti tahlilan dan istighotsahan. Juga akan terkuras energinya bila hanya melulu larut pada masalah furu’iyah. NU saat ini dan ke depan sangat ditunggu perannya di semua sektor. Semua sektor dalam hal ini penting bagi dakwah NU (multimedia).
Dakwah NU hari ini tidaklah cukup apabila hanya dengan ceramah dan dalil-dalil. Namun dakwah akan lebih bermakna apabila dilengkapi dengan tindakan dan gerakan (activity) yang tentu saja lebih baik, lebih mengena, dan tepat sasaran. Era ini, siapa yang cepat dan menguasai situasi dialah yang memimpin. Demikian juga NU, manakala organisasi ini menguasai semua lini dipastikan NU lah yang memimpin.
Pemimpin organisasi tentu mempunyai anggota. Suatu misi organisasi yang dipimpin oleh pemimpin akan berhasil jika mendapat dukungan dari anggotanya. Dengan demikian, hal ini pasti membutuhkan proses komunikasi dua arah antara pemimpin dengan yang dipimpin. Janganlah sampai terjadi pemimpin yang tidak dapat mendengar aspirasi anggota ataupun anggota yang tidak patuh terhadap arahan pimpinan. Oleh karenanya, yang harus dilakukan adalah suatu budaya organisasi yang baik. Organisasi sebesar NU sudah semestinya mendasarkan semua gerakannya atas landasan Qonun asasi, Keputusan Muktamar, maupun keputusan-keputusan jam’iyah lainnya. Bukan pada keinginan orang per-orang.
Kader siapapun itu, dalam posisi apapun kita, harus mau dan mampu untuk mengemban tugas sebagai warga NU (nahdliyin). Di antara tugas-tugas kader misalnya, untuk senantiasa mengamalkan amaliah NU, membuat suatu suasana NU dalam lingkungannya, memimpin solusi masalah dalam lingkungannya dengan cara berpikir NU, menularkan ke NU an pada keluarga dan masyarakat, bangga terhadap ke NU annya, di manapun berada selalu berusaha memanfaatkan dirinya untuk NU.
Suatu kata bijak penting yang harus dijadikan pegangan adalah, “loyalitas pada kelompok, golongan, maupun partai harus berhenti ketika jam’iyah membutuhkanmu”. Dengan demikian, bila semua kader mentaati keputusan organisasi atas dasar maslahah ummat, maka dipastikan semua pertempuran akan dimenangkan oleh NU. Apalagi dalam era Demokrasi saat ini mestinya NU lah yang tetap memimpin masyarakat.
Kegelisahan Kaderisasi
Ada suatu kegelisahan dalam kaderisasi NU, kegelisahan mana bersumber dari beberapa hal sebagai berikut: pertama, kurang meratanya kader NU di luar bidang agama; kedua, sistem kaderisasi telah ada namun kurang optimal pelaksanaannya; ketiga, budaya organisasi yang masih lemah; keempat, belum memanfaatkan secara optimal lembaga pendidikannya untuk kaderisasi; kelima, tema kaderisasi yang monoton dan tidak menarik; keenam, porsi dalam kepengurusan masih mengedepankan pertemanan dan kekeluargaan, belum pada basis keahlian; ketujuh, belum memandang keberhasilan anggota lain sebagai keberhasilan bersama atau sebaliknya; kedelapan, faksi-faksi politik seringkali dibawa ke dalam jam’iyah; kesembilan, kader seringkali dimanfaatkan hanya untuk kepentingan dukungan mayoritas, belum ke substansi gerakan; kesepuluh, belum adanya sense of belonging dan rasa bangga terhadap NU; kesebelas, keberhasilan pemimpin NU belum dilihat dari unsur utama keberhasilannya melakukan kaderisasi; keduabelas, ditemukan kader yang lompat pagar; ketigabelas, belum adanya data tentang potensi SDM di NU.
Kegelisahan tersebut tentu saja bukan hanya merupakan sebab, tapi juga berkaitan dengan penyebab lain yang tak kalah pentingnya. Penyebab lain itu setidaknya adalah tujuh sikap utama yang kurang dipegang oleh sementara kader di NU. Sikap tersebut adalah: Jujur, Tanggungjawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil, dan Peduli. Kader, apalagi pimpinan yang tidak dapat mensinerginakan pola tindakannya atas 7 hal tersebut dimungkinkan organisasi yang sedang dibangun sulit untuk maju.
Siap Berjuang Bersama NU
Di sisi lain, tantangan modernisasi dan globalisasi yang beruwujud nilai-nilai baru dipastikan akan mempengaruhi perilaku, moral maupun ketahanan ideologi NU yang mengacu pada nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Secara praktis, sisi ekternalnya adalah munculnya gerakan terorganisir dari kaum radikalis dan fundamentalis. Ini merupakan suatu tantangan yang menarik untuk diikuti.
Berpijak pada kondisi inilah, maka sudah seharusnya, NU sebagai ormas Islam yang besar menggalakkan kembali pengkaderan untuk membentuk kader NU yang tangguh, loyal dan militan. Dengan kader yang loyal, tangguh, dan militan ini di harapkan organisasi NU akan mampu menjaga dan merawat warganya tetap dalam sikap dan perilaku keagamaan yang tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Dengan kader yang loyal, tangguh, dan militan ini juga di harapkan organisasi NU akan mampu meningkatkan pelayanan (khidmah) kepada warganya (jama’ah) dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan atas dasar Islam ahlussunah wal jama’ah (khoiro ummat).
Berbagai uraian di atas diharapkan dapat dipakai sebagai peta konsep kaderisasi, motivasi, peluang berkiprah dan tentu saja perbaikan kader hari ini. Karena hari inilah yang akan menentukan hari esok. Bagaimana dengan anda, sudah siapkah anda berjuang bersama NU dan untuk NU?

Bahan Bacaan:
A Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoalan bangsa, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999, ISBN 9796260832, 9789796260836
Andrée Feillard, Ellyasa K. H. Dharwis, Gus Dur, NU, dan masyarakat sipil, LKIS Yogyakarta bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1994
Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatayu, 1985
Greg Fealy, Greg Barton, Nahdlatul Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia, Monash University, Monash Asia Institute, 1996
H. A. Nasir Yusuf , NU dan suksesi: bunga rampai, Humaniora Utama Press, 1994
La Ode Ida, NU muda: kaum progresif dan sekularisme baru, Erlangga, 2004, ISBN 9797413373, 9789797413378
Zul Asyri L. A., Nahdlatul 'Ulama: studi tentang faham keagamaan dan pelestariannya melalui lembaga pendidikan pesantren, Susqa Press, 1993.
[1] Rektor Unisda Lamongan, Koordinator Wilayah Asosiasi Perguruan Tinggi NU Jawa Timur.

Sabtu, 02 Mei 2009

Potret Urusan Pendidikan di Era Otonomi Daerah

(Refleksi Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2009) 
Oleh: M. Afif Hasbullah


    Ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu ketika Perang Dunia II, maka seketika luluh lantaklah dua kota di Jepang itu. Di antara terpuruknya Jepang akibat kekalahan perang, maka yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar bukanlah berapa banyak serdadu Jepang yang masih tersisa, bukan pula berapa logistik militer yang terselamatkan, juga bukan pula berapa pengusaha yang tersisa. Namun Kaisar mendahulukan pertanyaan, seberapa banyak guru yang terselamatkan. Ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sector utama kesuksesan masa depan bangsa. Hari ini terbukti, bahwa dengan komitmen yang besar dari Jepang dan negara maju lainnya, pendidikan di negara mereka menghasilkan karya untuk kesejahteraan bangsanya bahkan dunia.
    Era global menjadikan kompetisi antar bangsa semakin tajam, hal tersebut ditunjukkan dari adanya persaingan kualitas manusia antar bangsa. Sebagai contoh, Human Development Index (HDI) mencatat bahwa bangsa Indonesia masih menduduki peringkat 111 dari 175 negara, jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Demikian pula, menurut catatan World Competitiveness Yearbook 2002, tingkat daya saing manusia Indonesia pada bidang sains, skor tertinggi diraih Taiwan (569), lalu Singapura (568), Jepang (550), Korea Selatan (549), dan kemudian Hongkong (530). Malaysia (492), Thailand (482), Indonesia (435), dan Philipina (345). Walaupun tidak kita pungkiri, beberapa anak bangsa kita mampu mengukir prestasi di bidang yang lainnya seperti pada International Physic Olympiade beberapa waktu yang lalu. Berbicara sarana dan prasarana apalagi, banyak sekolah yang kondisinya memprihatinkan, ambruk, dan roboh.
    Para pendiri negara ini bukannya tidak menyadari bahwa pendidikan merupakan elan vital bagi kemajuan suatu bangsa, hal ini terbukti dari cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun, pengalaman masa lalu pada bangsa ini menunjukkan bahwa sektor pendidikan belum menjadi perhatian utama dalam pembangunan nasional. Pendidikan masih dijadikan subsistem yang kalah penting dibanding sektor perdagangan, industri, maupun infrastruktur. Akibatnya banyak aspek pendidikan tidak dapat dikelola dengan baik dan profesional, yang pada gilirannya kualitas SDM nya juga kalah dengan negara tetangga sekalipun.
    Atas ketidakadilan dalam memperlakukan sektor pendidikan tersebut, maka melalui momentum reformasi 1998, mulailah ditata setahap demi setahap perbaikan sistem pendidikan nasional kita. Di awali referendum terhadap hukum tertinggi, konstitusi UUD 1945, yang menegaskan kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan nasional dan membiayai pendidikan dasar (Pasal 31:1,2). Demikian pula, agar supaya ada jaminan konstitusional yang pasti terhadap penyelenggaraan tanggungjawab negara tersebut, maka konstitusi menentukan bahwa negara wajib mengalokasikan anggaran belanja negara dan daerah minimal 20% dari total anggaran (Pasal 31:4).
    Kejelasan penganggaran dalam konstitusi belumlah cukup. Era Reformasi yang membawa ide demokratisasi dan desentralisasi pada kelanjutannya juga menyentuh urusan pendidikan. Sektor pendidikan yang pada era sebelumnya dikelola oleh pusat, ketika reformasi diserahkan pengurusannya pada daerah, kecuali pendidikan tinggi. Hal ini dimaksudkan, selain untuk memenuhi tujuan desentralisasi dan demokratisasi, juga untuk mengoptimalkan pencapaian mutu pendidikan anak bangsa.
    Perpindahan urusan pendidikan dari pusat ke daerah tersebut, juga berimplikasi pada penganggaran pendidikan di daerah. Anggaran yang sebelumnya banyak tersentralisasi di pemerintah pusat, saat ini telah terbagi juga untuk membiayai belanja daerah. Hal ini sebagai konsekwensi penyerahan urusan.
Namun demikian, amat disayangkan, walaupun telah tercantum jelas anggaran minimal 20% dari APBN maupun APBD untuk sektor pendidikan (UUD 1945 jo. UU No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional), realisasi dari penganggaran itu tidak seindah konsepnya. Potret ketidaktegasan dan pelanggaran terhadap UUD 1945 oleh UU APBN nyata-nyata ditunjukkan oleh para penyelenggara negara. Tidak kurang empat kali Pasal 31:1 UUD 1945 dilanggar oleh DPR dan Presiden. Presiden berdalih bahwa UU APBN telah disetujui oleh DPR, sehingga Presiden tidak mau dipersalahkan atas pelanggaran tersebut.
    Setelah empat kali memumutuskan UU APBN melanggar UUD 1945, pada tahun 2008 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa anggaran pendidikan telah memenuhi ketentuan konstitusi. Hal ini dimungkinkan karena anggaran 20% tersebut termasuk anggaran untuk honor guru dan dosen. Ketika itu MK mengabulkan gugatan dari seorang guru SD di Makassar yang menginginkan gaji guru dimasukkan anggaran 20%.
    Pada akhirnya yang terjadi adalah, walaupun anggaran pendidikan tercatat dalam APBN dan banyak APBD telah mencapai 20%, ternyata banyak di antaranya adalah untuk belanja honor guru di daerah.
Anggaran dan Potret Infrastruktur Pendidikan
Secara umum infrastruktur sekolah saat ini sudah melampaui minimal. Namun ternyata, masih kerap dijumpai adanya sekolah atau madrasah yang kondisi fisik bangunannya tidak memadai. Atap bocor, lantai mengelupas, dinding retak, pintu tak berdaun, bangku yang sudah tambal sulam, bahkan masih juga kita jumpai di media massa tentang ambruknya kap atau dinding sekolah. Ini tentu sangat memprihatinkan. Dalam kaitan ini, tentu kita masih ingat pemberitaan di radar bojonegoro mengenai sekolah ambruk di Tuban beberapa waktu yang lalu.
    Adanya program bantuan untuk rehab sekolah, baik itu perawatan maupun pengadaan ruang kelas baru, secara nominal sebenarnya sudah cukup lumayan. Namun yang kerap terjadi adalah, proses pembangunan yang tidak cukup baik menjadikan kualitas bangunan tidak bertahan lama. Oleh karenanya, proses tender atau lelang proyek mestinya harus lebih diawasi, bilamana perlu ada evaluasi proyek-proyek infrastruktur pendidikan terkait dengan kualitas dari tahun ke tahun. Sehingga, bilamana terdapat rekanan yang tidak jujur maka tentu tidak perlu dipercaya untuk realisasi proyek tahun berikutnya.
    Hal tersebut baru merupakan sarana infrastruktur minimal saja, karena kalau kita mencermati terhadap sarana penunjang lainnya, justru akan semakin panjang kekurangan infrastruktur pendidikan kita. Berapa sekolah yang mempunyai sarana laboratorium yang memadai, berapa jumlah sekolah yang mempunyai sarana kegiatan siswa (olahraga maupun seni) yang memenuhi satandar minimal, dan termasuk pula berapa sekolah yang mempunyai perpustakaan yang representatif. 
Pengalaman penulis selama melihat-lihat infrastruktur sekolah dan madrasah di pelosok Lamongan, Bojonegoro dan Tuban, nampaknya memang masih banyak yang harus dibenahi. 
Realisasi Anggaran APBN/APBD Sektor Pendidikan
     Tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar masih sangat besar, lebih dari 90% sekolah dasar (SD) saja berstatus milik pemerintah. Sementara itu tekad untuk memperbaiki layanan pendidikan masih dihadapkan pada tidak meratanya kesempatan, rendahnya kualitas, serta lemahnya manajemen lembaga pendidikan. Oleh karenanya, pemerintah diminta oleh konstitusi untuk memprioritaskan anggaran 20% dari APBD/APBN. Ada kendala dalam hal ini.
    Di samping realisasi 20% anggaran pendidikan itu pun telah mengalami tarik menarik di tingkat elit pemerintahan. Secara umum daerah saat ini telah mengalokasikan dana cukup besar di bidang pendidikan. Bahkan, Dinas pendidikan merupakan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang mengelola anggaran terbesar. Namun, realisasi anggaran itu pun juga ternyata masih terkonsentrasi untuk belanja pegawai (honor). Hal ini wajar terjadi karena pengawai negeri di daerah mayoritas terdiri dari para guru. 
    Padahal sebagaimana diketahui bahwa persoalan pendidikan bukan hanya pada masalah kesejahteraan guru dan dosen yang minim, namun juga banyak hal lainnya. Misalnya, infrastruktur, beasiswa guru dan murid, pengadaan buku-buku, dan lain sebagainya.
    Secara agregat, jumlah dana yang dikelola pemda provinsi dan kabupaten/kota setelah era Otonomi Daerah meningkat cukup tajam. Dana dari pusat nampak mendominasi sumber penerimaan daerah. Di level Propinsi, kontribusi PAD (pendapatan asli daerah) terhadap penerimaan propinsi berkisar sepertiga dari total penerimaan, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota antara 10-15%. Banyak daerah mendapatkan penerimaan dari DAU sampai 70%, walaupun ada juga yang kisaran 50%.
Pengalokasian dana penerimaan daerah menjadi menjadi anggaran pendidikan tentu harus sesuai ketentuan Undang-undang, namun juga sangat terkait dengan kewenangan pemda. Terutama pengalokasian plot anggaran. Oleh karenanya antar daerah biasanya jumlahnya bervariasi.
Anggaran Pendidikan dari Masyarakat
    Walaupun pendidikan dasar sudah seharusnya bebas biaya atau gratis, namun mengingat tuntutan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang tinggi, sedangkan disisi lain juga pemerintah masih mempunyai keterbatasan anggaran, maka banyak sekolah yang mendayagunakan masyarakat dan wali murid untuk ikut membiayai operasional sekolah. Baik melalui lembaga komite sekolah atau rapat-rapat wali murid. Bentuk infaq, shadaqah dan dana sosial lainnya biasanya kerap dipakai untuk menarik dana masyarakat. Seringkali dijumpai, bahwa dana masyarakat ini tak kalah besar dibanding dana pemerintah yang diberikan ke sekolah.
Dilema Anggaran
    Pendidikan di Indonesia menghadapi dilema terbatasnya anggara di satu pihak, dan tuntutan peningkatan mutu di pihak lain. Anggaran memang penting, tetapi yang l;ebih diperlukan adalah kesepakatan nasional tentang kebijakan pembangunan pendidikan yang didukung oleh kebersamaan tekad untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempraktikkan asas keterbukaan dan efisiensi anggaran. Harus ada upaya simultan untuk mengendalikan kebocoran anggaran. Pemerintah pusat pun mestinya sudah tidak berpatokan lagi pada angka 20% sebagai standar minimal, karena saat ini 20% itu sudah termasuk anggaran honor guru. Negara lain, Malaysia maupun Singapura sudah di atas 20%. Hal ini dimaksudkan agar semakin kecil kesenjangan antara sekolah di kota dan desa, juga sekolah di Jawa dengan Luar Jawa.
Policy Pemerintah dan Parlemen
    Apabila hendak mengacu pada produk pemerintah mulai konstitusi dan UU Sisdiknas, maka sesungguhnya track pemerintah sudah baik. Hanya saja, seringkali di Indonesia ini aturan yang baik tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Seperti telah penulis uraikan di atas.
    Setiap pemerintah daerah sudah membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), kemudian dirinci dalam RPJMD dan Renstra tiap SKPD. Mengingat urusan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib, maka mulai RPJPD sampai RPJMD pasti sudah mengatur pembangunan di bidang pendidikan. Persoalannya sekarang adalah tinggal sejauh mana pemerintah dan parlemennya membuat kebijakan tentang pendidikan itu. 
    Peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan di era Otoda sungguh sangat besar. Semua tentu bergantung pada Bupati, hal ini bisa terjadi karena kepala daerah mempunyai kewenangan penuh dalam menghandel kualitas pendidikan di daerahnya. Bagiamana suatu daerah membuat suatu sistem rekruitmen guru, rekruitmen siswa, rekruitmen kepala sekolah, peningkatan profesionalisme guru, termasuk juga kewenangan menentukan sistem evaluasi.
    Jadi, di dalam era Otoda ini, bila ingin bicara tentang kualitas pendidikan dasar dan menengah maka tinggal bagaimana maunya daerah. Di dalam posisi ini, kemudian cukup relevan untuk memasukkan local content daerah masing-masing ke dalam materi pendidikan di sekolah di daerahnya.
Local Content sebagai Muatan Lokal Ku
rikulum
    Dalam pada itu, untuk mendukung visi misi daerah pula, maka sudah seharusnya ada materi muatan lokal pada masing-masing daerah. Misalnya, sekolah-sekolah di Pantura Lamongan dan Tuban sudah sewajarnya ada mata pelajaran sesuai kompetensi geografis di mana mereka berada, materi kelautan, cinta bahari, wawasan wisata, menjadi penting untuk di berikan. Hal ini mungkin berbeda dengan sekolah yang ada di wilayah Bojonegoro, barangkali di sana yang lebih sesuai adalah tentang materi pendayagunaan sumberdaya alam, minyak, gas dan seterusnya. Jadi local content sebagai life skill menjadi sangat penting, karena kalau pendidikan itu tidak ada muatan lokal maka jadinya hasil pendidikan itu seragam se Indonesia. Tradisi, budaya, karakter dan etos kerja perlu senantiasa di lanjutkan oleh anak-anak daerah. 
    Di Lamongan bahkan untuk anak SMP diharuskan sudah bisa membaca al Qur’an. Ini sangat bagus sekali, sebagaimana diketahui bahwa Lamongan adalah merupakan daerah santri. Jadi anak Lamongan mestinya harus menampakkan kualitas pengamalan agamanya.
    Mengenai kurikulum muatan lokal secara umum, semua sekolah yang mengakreditasikan diri biasanya telah mencantumkan local content dalam kurikulumnya. Namun persoalannya adalah, apakah materi local content ini sudah diterapkan sehari-hari, dan apakah telah ada rule model untuk evaluasinya. Ini nampaknya yang harus dijadikan perhatian pemegang policy pendidikan.
Kolom serupa dapat dilihat dalam Laporan Khusus Hadiknas di Radar Bojonegoro 2 Mei 2009



Jumat, 10 April 2009

Mewujudkan Anak Sholeh dan Berprestasi

Pendahuluan
    Dengan amat indahnya Allah SWT menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya, yang dengan itu semua Allah SWT memberikan mandat kepada ummat manusia untuk berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini. Baik buruknya dunia, tentu juga digantungkan pada sejauh mana kualitas manusia dalam memakmurkan bumi ini. Semakin perilaku khalifahnya tidak terpuji, maka semakin cepat rusaklah bumi ini. Namun, manakala khalifahnya bertindak dengan terpuji dan berdasarkan syari’atnya, maka bumi pasti menjadi makmur sejahtera.
    Mengingat fungsi penting khalifah tersebut, maka yang harus dilakukan oleh ummat manusia, muslim khususnya, adalah mempersiapkan generasi sholeh yang berprestasi. Sebagaimana firman Allah, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". (Ali 'Imran:104).
    Tugas untuk mendapatkan generasi muslim yang unggul tersebut, harus diawali dari pendidikan seorang anak di dalam suatu keluarga yang memahami dan mengerti tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang tua. 
    Paparan ini, berusaha untuk menjelaskan mengenai tanggungjawab dalam mewujudkan anak sholeh dan berprestasi. Pertanyaan-pertanyaan dalam judul meliputi, siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, bagaimana mendidik anak sesuai tahapan usia, apa saja hak-hak anak, bagaimana memberikan stimulasi percepatan pendidikan pada anak, serta bagaimana praktik baik orang tua yang anak-anaknya berprestasi.

Keluarga dan Pendidikan Anak

    Keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah)
   Disamping itu, keluarga juga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya. Bila keluarga-keluarga di dalam suatu masyarakat ada dalam potret yang baik, maka dapat dipastikan kondisi masyarakatnya akan baik pula.
    Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an Surat At-Tahrim ayat 6 yang artinya:"Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…". Demikian pula Rasulullah juga mengajarkan betapa besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak. Sabda Nabi SAW: "Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR Muslim).
    Dalam konteks makro, tentu selain keluarga terdapat juga pihak lain yang bertanggungjawab secara langsung maupun tidak, yakni lembaga pendidikan, masyarakat, serta negara. Sehingga anak-anak yang dihasilkan juga merupakan sinergi dari perlakuan semua pihak kepada anak-anak.

Hak-hak Anak
    Anak-anak yang kita cintai, mereka bukanlah “milik” kita para orang tua, sebagaimana kepemilikan asset atau materi kebendaan lainnya. Ia pun bukanlah fotokopi para orang tuanya yang harus meniru persis seperti orang tuanya. Ia mempunyai hak, ia mempunyai pilihan, ia mempunyai nurani yang juga “bebas” berfikir sebagai manusia yang mandiri. Semua tentu berjalan setahap demi setahap, dari hal-hal yang kecil seperti memilih mainan, sampai nanti ketika dewasa memilih sekolah maupun bidang pekerjaan.
    Orang tua sesungguhnya cukuplah untuk mendampingi seorang anak menuju kebaikan dirinya. Orang tua tidak boleh otoriter yang membabi buta tanpa alasan untuk kebaikan (maslahah) anak. Oleh karenanya, maka Islam memberikan hak-hak kepada anak di antaranya sebagai berikut:
1. Hak untuk Hidup
2. Hak untuk mendapat nama yang baik
3. Hak penyusuan dan pengasuhan
4. Hak mendapatkan kasih sayang
5. Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga
6. Hak mendapatkan pendidikan
7. Hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warga negara
    Hak-hak anak ini apabila terpenuhi dengan baik, maka anak akan tumbuh dengan normal. Demikian pula, manakala pertumbuhan anak dilakukan dengan normal, pencapaian prestasinya pun akan berjalan dengan optimal pula. Ia akan tumbuh dengan ceria dan penuh cita-cita.

Materi Pendidikan pada Anak sesuai Perkembangan dan Usia
    Allah SWT memberikan beban (taklif) kepada manusia berdasarkan proses perkembangan kemanusiannya. Demikian pula, semua yang mewujud dalam alam semesta ini berproses dari minimalis menjadi maksimalis. Dari ketiadaan atau keterbatasan menuju keberadaan atau kelengkapan.
    Oleh karenanya maka di dalam proses pendidikan anak juga harus mempertimbangkan plus minus perkembangan usia dan kemampuan seorang anak. Baik itu kemampuan emosional, spiritiual maupun kemampuan fisik dan nalarnya. Pemaksaan pendidikan pada anak hanya akan membuat suasana otoriter dan menegangkan di dalam perkembangan psikologis anak.
    Dalam beberapa literatur menyatakan, bahwa terdapat tahapan pendidikan yang seyogyanya diberikan pada anak menurut usianya, walaupun tidak harus kaku pada standar usia, namun sebagai orang tua harus bijaksana dalam memandang perkembangan putra-putrinya atas materi dan metode pendidikan yang harus diberikan. 
    Sebagai bahan ilustrasi, menurut usia, anak-anak dapat diberikan materi sebagai berikut: 
1. 6 1st Years Old (Enam Tahun Pertama)
a. Kasih sayang dari pihak kedua orangtua, terutama ibu amat penting, agar anak belajar mencintai orang lain
b. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya. Misalnya, membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap.
c. Jadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.
d. Biasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulan. Misalnya, berdoa sebelum makan, tidak menghisap jempol, tidak memakai pakaian atau celana yang pendek dll
2. After 6th Years Old (Usia Setelah Enam Tahun)
a. Kenalkan Allah dengan cara yang sederhana sesuai dengan tingkat pemikirannya
b. Jelaskan tentang hukum yang jelas dan tentang halal-haram. Misalnya, tentang kewajiban menutup aurat, berwudhu, shalat, mencuri dan melihat kepada yang diharamkan
c. Ajarkan dan biasakan membaca Al Qur'an dengan benar
d. Ajarkan tentang hak-hak orang tua
e. Kenalkan tokoh-tokoh teladan, ceritakan sirah Nabi, sahabat, pejuang Islam dan lain lain.
f. Ajarkan tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
g. Kembangkan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri anak
3. Adolescent (Masa Remaja)
1. Perlakukan anak sebagai orang dewasa
2. Ajarkan kepada anak hukum-hukum akil baligh dan ceritakan kepadanya kisah-kisah yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa serta menjauhkan diri dari hal yang haram.
3. Berikan dorongan untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti melakukan pekerjaan yang membuatnya merasa bahwa dia sudah besar.
4. Mengawasi dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat 
5. Carikan teman yang baik.

Keharusan dan Larangan dalam Pendidikan Anak
     Melakukan proses pendidikan menuju hasil yang optimal seyogyanya diimbangi dengan pengetahuan pendidik (orang tua atau guru) tentang apa yang semestinya diberikan kepada anak dan apa yang tidak boleh ditampakkan atau diberikan pada anak didik. Kesalahan-kesalahan dalam proses pendidikan mengakibatkan terhambatnya keberhasilan pendidikan, bahkan bila mungkin akan terjadi kegagalan pencapaian tujuan pendidikan.
    Beberapa kekeliruan atau hal yang sering diabaikan oleh orang tua dalam mendidik anaknya adalah sebagai berikut:
1. Ucapan pendidik tidak sesuai dengan perbuatan. Sebagaimana firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan." (Q.S. Ash Shaff : 2-3).
2. Kedua orangtua tidak sepakat atas cara tertentu dalam pendidikan anak.
3. Membiarkan anak jadi korban televisi
4. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pembantu atau pengasuh
5. Pendidik menampakkan kelemahannya dalam mendidik anak.
6. Berlebihan dalam memberi hukuman dan balasan
7. Berusaha mengekang anak secara berlebihan
8. Mendidik anak tidak percaya diri dan merendahkan pribadinya
Sedangkan untuk keberhasilan proses pendidikan anak maka ada beberapa hal yang yang harus dioptimalkan pemenuhannya, sebagai berikut:
1. Pemenuhan hak-hak anak (sebagaimana telah disebutkan di atas).
2. Pemberian Stimulasi pada Anak
3. Mencontoh Orang Tua yang Berhasil

Pemberian Stimulasi pada Anak
    Untuk mendapat hasil pendidikan yang optimal tentu harus digunakan metode dalam mendidik. Ada sejumlah langkah yang dapat mengoptimalkan sisi moral dan spiritual anak, yakni dengan memberikan beberapa stimulasi, yakni pendengaran, penglihatan, perabaan dan permainan.
  
 Mencontoh Orang Tua yang Berhasil
    Sebagai pendidik dan orang tua, kita juga harus senantiasa belajar. Yakni belajar mengenai bagaimana mendidik anak dengan baik. Tidak ada jeleknya apabila sebagai orang tua kita belajar pada para orang tua lainnya yang telah berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan berprestasi.
    Ada beberapa hasil penelitian mengenai perilaku mendidik orang tua pada anak-anaknya. Namun, terdapat satu penelitian penting yang langsung mengkorelasikan diri terhadap profil kepengasuhan orang tua yang menghasilkan anak-anak yang berprestasi. Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta.
    Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui profil pengasuhan orangtua dari anak-anak yang berprestasi. Hal-hal yang ingin diketahui oleh peneliti adalah usaha-usaha yang dilakukan anak untuk mencapai prestasi, hal-hal yang dipandang orangtua untuk dimiliki anak, dan cara-cara pengasuhan yang dilakukan orangtua agar anak mencapai prestasi optimal.
    Mereka (para peneliti) menjadikan orangtua dari anak-anak berprestasi yang sedang menempuh pendidikan dasar sebagai informan riset. Jumlah informan sebanyak 10 orang. Informan diperoleh berdasarkan purposive sampling dan snowball sampling. Informasi diperoleh dengan cara melakukan wawancara yang mendalam dengan menggunakan kuesioner.
    Hasil penelitian menunjukan bahwa anak-anak yang memiliki prestasi unggul, baik akademis maupun non-akademis, melakukan hal-hal berikut ini, yaitu: 
a. melatih dan meningkatkan bakat-bakat yang dimiliki, 
b. mengikuti berbagai macam lomba, 
c. melakukan tugas-tugas dengan senang hati, 
d. disiplin dalam belajar, dan 
e. belajar secara berkelompok.
    Hasil berikutnya adalah orangtua dari anak-anak yang berprestasi memiliki pandangan bahwa ada beberapa prinsip yang perlu dimiliki anak untuk mengantarkan anak menjadi individu yang berprestasi, yaitu: 
a. perilaku keagamaan dan moral etik, 
b. kedisiplinan, 
c. kepemimpinan, 
d. prestasi dan motif berprestasi, serta 
e. keprihatinan, kesabaran, dan menunda kenikmatan.
    Dari penelitian lapangan juga diketahui bahwa orangtua dari anak-anak yang berprestasi merlakukan hal-hal berikut ini, yaitu: 
a. menemani atau mendampingi anak saat belajar, 
b. memberi pengarahan, peringatan, dan melakukan kontrol atas aktivitas anak, 
c. memberi dukungan kepada anak, 
d. memberi penghargaan terhadap anak, 
e. menjadi teladan bagi anak-anak, dan 
f. memberi perlakuan yang adil terhadap anak laki-laki dan anak perempuan.

Penutup
     Anak-anak kita adalah aset masa depan. Tidak hanya aset pribadi dan keluarga, namun lebih penting dari itu adalah aset bangsa, negara serta keummatan. Ingat sabda Nabi, "Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo'akannya." (HR. Muslim, dari Abu Hurairah). 
    Wahai orang tua teruslah didik anakmu dengan baik, ajarilah mereka ilmu dunia dan akherat.

Daftar bacaan:
1. Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
2. Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
3. Fuad Nashori, Profil Orang Tua Anak-Anak Berprestasi, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005.
4. Robert Coles, Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak, terj. T. Hermaya, judul asli, “The Moral Intelligence of Children: How to Raise a Moral Child”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
5. Wirianingsih, Pendidikan Anak dalam Islam, slide, Bangkok, Januari 2008, dari http://72.14.235.132/search?q=cache:kqNoHcG4n_QJ:siln.org/flash/pendidikananak.



Selasa, 31 Maret 2009

Pendidikan di Indonesia: antara das Sein dan das Sollen

Oleh: M. Afif Hasbullah 

Pendahuluan
    Secara historis pendidikan di Indonesia telah mengalami proses semenjak era dimulainya peradaban Nusantara. Demikian pula era kolonial, walaupun ketika itu pendidikan formal di masa kolonial bisa dibilang cukup terlambat atau tertinggal dibanding dengan negara lain. Kita memang untuk masalah pendidikan kurang beruntung dijajah Belanda. Namun bukan pula berarti bahwa pendidikan di colonial belanda ini sangat menggantungkan pada policy penjajah. Kenyataannya, banyak lembaga pendidikan formal maupun non formal yang pada akhirnya secara swadaya diusahakan oleh pribumi. Kita dapat melihat keberadaan taman siswa, muhammadiyah, al irsyad, maupun nahdlatul ulama.
    Ini membuktikan, bahwa sesungguhnya semangat bangsa Indonesia untuk menjadi warga negara-dunia yang terpelajar dan berpengetahuan sungguh sangat besar. Amat disadari pula, bahwa dengan hanya pendidikanlah bangsa Indonesia diharapkan dapat merebut kemerdekaan, menata negara dan mewujudkan cita-cita bersama. Kebodohan dan keterbelakangan sudah terbukti merupakan sasaran empuk bagi munculnya penjajahan, penindasan dan perilaku yang tidak berprikemanusiaan.
    Sampai saat ini, issu pendidikan masih mendapat porsi wacana yang cukup besar diperbincangkan oleh warga bangsa. Hal ini tentu adalah merupakan implikasi dari keinginan yang dinamis seluruh warga bangsa untuk senantiasa menginginkan pelaksanaan pendidikan dapat mewujud dalam cita-cita bangsa sebagaimana termuat dalam mukaddimah UUD 1945.
    Issu-issu pendidikan yang terkait dengan: pengajaran agama, akses untuk mendapatkan pendidikan, tiadanya diskriminasi, pembiayaan pendidikan, kurikulum, layanan pendidikan, manajemen satuan pendidikan, infrastruktur pendidikan, prestasi atas profesional pendidikan, maupun luaran pendidikan senantiasa menjadi perbincangan yang hangat. Semua terkemas dalam issu nasional maupun issu lokal.
    Ketidakpuasan demi ketidakpuasan atas sistem pendidikan ini versus pihak lain yang menyatakan bahwa sistem yang berlaku sudah baik dan benar menjadikan dinamika pendidikan menjadi semakin menarik untuk kita amati bersama. Kemudian didorong untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Pembahasan

    Meninjau apa yang terjadi dalam sistem pendidikan nasional, tentu tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pendidikan yang diberlakukan. Oleh karenanya menjadi relevan apabila potret pendidikan kita harus dilihat dalam bentuk das Sein dan das Sollen. Bagaimana teori, bagaimana pula kenyataannya. 
    Secara yuridis (sebagai landasan kebijakan), sistem pendidikan nasional telah diatur dalam berbagai ketentuan konstitusional. Baik dalam UUD 1945 maupun dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan. Di dalam mukaddimah UUD 1945, di sana telah disebutkan mengenai cita negara dibidang pendidikan yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 
    Demikian pula, di dalam batang tubuh UUD 1945 akan dapat ditemukan mengenai kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan nasional di satu sisi dan pada sisi lain pendidikan merupakan hak warga negara. 
    Mengenai kewajiban negara: Pasal 31 ayat (2)-(5) berbunyi, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
    Demikian pula mengenai hak warga negara, tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Juga, Pasal Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan koalitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pula, Pasal 28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
    Landasan konstitusi tersebut masih dijabarkan lagi dalam UU No 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta berbagai peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan daerah.
    Di antara beberapa aturan tersebut, yang terjadi adalah: pertama, ada aturan yang secara normatif sudah bagus namun implementasinya yang buruk atau belum optimal; kedua, terdapat kontradiksi substansi norma antar peraturan perundangan; ketiga, substansi norma yang kurang bagus sehingga tidak implementasif atau implementasi di lapangan menjadi tidak bagus pula.
    Misalnya, kalau konstitusi telah lama menentukan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN maupun APBD, tapi berkali-kali UU APBN telah melanggarnya. Juga, ketika konstitusi menjamin bahwa pemerintah yang menyelenggarakan dan mengusakan sistem pendidikan nasional, namun masih cukup dirasakan bahwa pembiayaan semakin mahal dan banyak warga negara yang masih kesulitan mendapatkan pendidikan.
    Demikian pula, mengenai jaminan tunjangan profesi guru dan dosen sebagaimana diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen, sampai saat ini pun masih belum dapat segera terealisasi. Seringkali di negara ini UU disimpangi secara berjamaah hanya argumentasi masih proses dan dana negara tidak cukup. Ini sekedar contoh.
    Ini tentu amat paradoks dengan kondisi bangsa yang boros, dihinggapi korupsi dimana-mana. 20 tahun yang lalu, Sumitro Djojohadikusumo menyatakan bahwa anggaran negara 30% dikorup. Terbukti saat ini, dengan keberadaan KPK, maka ternyata banyak oknum pejabat negara dan penegak hukum tersangkut korupsi. Padahal mereka juga banyak mendengungkan tentang pentingnya pendidikan.
Kembali ke Konstitusi
    Untuk memperbaiki kondisi peraturan yang secara substantif tidak sesuai dengan cita negara dan peraturan yang tumpang tindih. Tentu yang harus dilakukan adalah kembali kepada norma UUD 1945. Sebagai zeit geist bangsa semua aturan harus menyesuaikan dengan UUD 1945. Termasuk implementasinya.
    UU Sisdiknas Pasal 2 telah menyatakan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan mengenai fungsi pendidikan, Pasal 3 menyatakan Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
    Demikian pula, pengelolaan pendidikan harus dikembangkan melalui 10 prinsip utama penyelenggaraan pendidikan yakni: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara.
    Selain itu, konsep penyelenggaraan pendidikan yang berlaku global yakni L-RAISE, yang meliputi Leadership, Relevance, Academic Atmosphere, Internal Management, Sustaniability, Efficiency, effectivity and Productivity harus senantiasa ditingkatkan untuk menuju keberhasilan daya saing dunia (world class).
Penutup
    Pendidikan adalah arus utama dunia. Bilamana ada negara yang lebih unggul pendidikannya maka dipastikan ia akan menguasai dunia. Era Romawi dan Yunani pernah menguasai dunia, dengan ilmu. Islam pernah memimpin peradaban dunia, dengan ilmu. China pernah berkuasa, dengan ilmu. Maka kenapa kita tunda lagi waktu untuk memperbaiki pendidikan kita?, tidak ada kata terlambat.



Minggu, 22 Februari 2009

Membangun Perguruan Tinggi, Unisda = Malaysia, Unigoro = Indonesia


Oleh: M. Afif Hasbullah

Syukur Alhamdulillah, acara studi banding Universitas Bojonegoro (Unigoro) di Universitas Islam Darul ’Ulum (Unisda) Lamongan telah usai dilaksanakan. Studi banding yang membawa rombongan sebanyak 15 orang tersebut langsung dipimpin oleh Rektor Unigoro Bapak Dr. H.M. Thalhah, S.H., M.Hum. Turut menyertai Rektor Unigoro seluruh pembantu rektor Unigoro dan beberapa pimpinan fakultas, biro serta pusat penjaminan mutu Unigoro.
Dari pihak tuan rumah, saya pimpin sendiri dengan seluruh wakil rektor, kepala biro, pimpinan fakultas dan pimpinan Badan Penjaminan Mutu (BPM) Unisda. Agenda acara yang diusung adalah studi banding tentang penyelenggaraan Badan Penjaminan Mutu di Unisda Lamongan.
Kurang lebih sebulan yang lalu, saya sempat ditelepon oleh Rektor Unigoro yang menyampaikan keinginannya untuk berkunjung dan ngangsu kaweruh ke Unisda, khususnya meninjau pengelolaan BPM di Unisda Lamongan. Dari permintaan rektor Unigoro tersebut saya iyakan saja, karena memang di Unisda sudah ada lembaga BPM selama 1 setengah tahun terakhir ini.
Segera saya call seluruh pimpinan BPM Unisda untuk menyiapkan kunjungan tersebut yang kemudian diputuskan untuk menerima tamu Unigoro pada tanggal 22 Februari 2009, hari ini.
Acara hari ini, sesuai agenda, membicarakan mengenai penerapan manajemen mutu di Unisda Lamongan. Hari ini, saya menyampaikan kepada para tamu mengenai beberapa hal: pertama, historis pengembangan Unisda sejak didirikannya pada tahun 1986; kedua, memperkenalkan mengenai Unisda secara sumberdaya, baik manusia, tenaga, maupun dana; ketiga, korelasi pengembangan Unisda dengan Higher Education Longterm Strategy (HELTS) 2003-2010; keempat, elaborasi mengenai konsep pengembangan perguruan tinggi menurut L RAISE (Leadership, Relevansi, Academic atmosphere, Internal Managemen, Sustainability, serta Efficiency and Productivity); dan kelima, upaya pengembangan penjaminan mutu di Unisda.
Yang menarik dari acara hari ini adalah semakin nyata adanya kecenderungan dari banyak perguruan tinggi untuk saling berjejaring (network) dalam mengembangkan perguruan tinggi untuk sama-sama maju melalui bench marking ke peer university (universitas sejawat). Saling mengunjungi dengan agenda belajar satu sama lain akan lebih mempercepat pengembangan perguruan tinggi.
Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa hal: pertama, perkembangan dunia global dengan persaingan perguruan tinggi saat ini mutlak harus dihadapi dengan sungguh-sungguh meningkatkan kualitas. Saingan perguruan tinggi nasional di era global bukanlah hanya sesesama perguruan tinggi nasional, namun persaingan perguruan tinggi Indonesia adalah dengan perguruan tinggi asing. Beberapa perguruan tinggi asing bahkan telah membuka atau bekerjasama dengan model dual degree dengan perguruan tinggi nasional.
Kedua, perguruan tinggi di era global ini menuntut adanya kesiapan modal akademik yang diberikan pada mahasiswa, baik berupa hard skill maupun soft skill. Apa artinya, fasilitas sumberdaya harus memenuhi kualifikasi untuk dapat menghasilkan lulusan yang siap kerja dan trampil. Dengan modal kurikulum yang baik dan kegiatan akademik serta kemahasiswaan yang mengasah, saya yakin lulusan akan lebih baik lagi untuk berkompetisi di dunia global dan lapangan kerja.
Ketiga, Potret masyarakat yang sudah lebih dewasa dalam memandang suatu lembaga pendidikan juga akan berpengaruh terhadap pilihan masyarakat terhadap suatu perguruan tinggi. Saat ini, kalau mengelola perguruan tinggi hanya dengan modal asal dijual murah tapi tanpa kualitas, hampir pasti masyarakat akan meninggalkannya. Bahkan seringkali ditemukan masyarakat siap ”membeli” suatu pendidikan bila fasilitas dan mutunya sebading dengan harga yang ditentukan.
Keempat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) membuat suatu program kemandirian perguruan tinggi sebagaimana tercantum dalam salah satu butir HELTS 2003-2010 yakni Authonomi dan Organizational Health. Dua unsur ini sangat penting sekali, karena sangat tidak mungkin suatu lembaga akan dapat berkembang dengan baik tanpa Otonomi (kemandirian) dan organisasi yang sehat. Oleh karenanya, dalam mewujudkan kemandirian perguruan tinggi tentu yang diperlukan adalah kebiasaan (culture) berkompetisi baik kompetisi itu di tingkatan internal (antar unit dalam perguruan tinggi) maupun eksternal (antar perguruan tinggi).  
Hal menarik lainnya dari agenda studi banding ini adalah adanya kecenderungan untuk semakin kuatnya semangat sivitas Unisda dalam rangka membangun perguruan tinggi. Ada suatu kenyataan yang berwujud sikap bangga terhadap hasil kerja yang kemudian terapresiasi dalam kunjungan kerja dari sejawat perguruan tinggi lain.
Demikian pula dari Unigoro, ada suatu keyakinan kuat bahwa ia akan dapat terus maju lebih cepat lagi ketika melihat sejawat Unisda sudah mencapai suatu prestasi tertentu. Memang, dalam hidup ini semua harus saling belajar dan berbagi. Bahwa suatu kelebihan pada pihak lain mungkin adalah kekurangan pada pihak kita dan sebaliknya.
Satu hal yang kemudian saya garis bawahi dari pidato Bapak Rektor Unigoro adalah kalau Unisda yang berdiri tahun 1986 sudah mempunyai kemajuan seperti ini, sedangkan Unigoro yang didirikan pada tahun 1981 belum ”sepesat” Unisda. Maka beliau mengumpamakan Unisda = Malaysia dan Unigoro = Indonesia. Beliau mengumpamakan itu dalam konteks percepatan pengembangan.
Bolehlah sivitas akademika Unisda bersyukur dengan hasil yang dicapai. Namun sesungguhnya masih banyak hal yang harus kita perbaiki untuk institusi kita. Karena tanpa perbaikan dan perubahan yang terus menerus pada Unisda, justru akan menjerumuskan Unisda tidak hanya dalam posisi mandek (statis) bahkan juga dalam keterpurukan (burried).